Featured Post

Morris si rusa besar

Kover depan Mooris the Moose karya B. Wiseman. Judul buku asli: Morris the Moose Penulis: B. Wiseman (Harper & Row, 1959) Penerjemah: Sa...

Tarian canting

Yun Juni 11, 2020
Siska Yuniati/Foto: Ons Untoro/Rumah Budaya Tembi
Siska Yuniati
Guru MTs Negeri 3 Bantul dan Ketua Umum Perkumpulan Guru Madrasah Penulis (Pergumapi)

ABASRIN.com–Menziarahi kubur bapak, bagaikan menyibak cerita yang telah lama tersembunyi dalam benak. Tiga puluh tahun lampau, saat usiaku genap tujuh tahun, rumahku begitu riuh. Adikku, bayi perempuan, hadir di rumah kami. Parasnya ayu membuat setiap tetangga yang menatap mengeluarkan sanjungan disertai doa kebaikan. Hal itu membuatku kecut, sehingga aku termangu di sudut ruang. Bapak yang mula-mula datang, menggendongku dan mendudukkanku dalam pangkuan.

“Waktu kau lahir, kau juga terlihat lucu. Semua orang ingin menciummu,” bapak berkata sambil mengusap rambutku.

Aku berpura-pura tidak mengindahkan. Tanganku asyik menggerakan perahu kertas dalam genggaman.

“Satu kambing kita akan dipotong untuk akikah adikmu. Dulu, bapak potong dua kambing milik simbah untuk akikahmu. Jadi masih lebih banyak punyamu. Tersenyumlah, biar gantengmu tidak sembunyi,” bisik bapak kembali. Bapak mendekapku erat. Aku pun diam-diam berhenti meratap.

Hari itu sepekan umur adikku. Aroma gulai kambing menyebar tanpa permisi. Berkali-kali kuteguk liurku sendiri. Simbah Putri sudah wanti-wanti, gulai kambing untuk kenduri nanti, jadi cukup sekali aku boleh mencicipi. Dengan begini, betapa aku menjadi risi.

Memang segalanya untuk adik. Bapak juga demikian, rela menambah lampu halaman yang katanya listriknya nyalur milik orang. Sore yang remang, acara meriah pecah oleh tangis, jerit, juga rintih. Bapak tersetrum saat lampu belum sempurna terpasang. Dalam gigil, aku saksikan tubuh bapak terkapar bersamaan dengan listrik yang padam. Sebagian badannya legam seperti usai terbakar.

Orang-orang berhamburan. Teriakan bersahutan. Ibuku seolah beku. Mulutnya terus merapal tanpa suara.

“Allah. Allah. Allah.”

Perahu kertas dalam tanganku terhempas begitu keras. Air bah dari mataku, deras meluncur, membaur bersama debu-debu yang melapisi pipiku.

***

“Bapak,” sebutku lirih.

Kini, di atas kuburnya aku hanya mampu memagut rindu. Rasa sepi kerap menghampiri. Beberapa waktu sejak kusaksikan bapak jatuh dan tak bergerak lagi, aku tahu aku disebut anak yatim. Rasanya hidup tanpa bapak adalah amarah tanpa bersebab. Aku menjadi sebal dengan temanku tatkala mereka berangkat sekolah diantar bapaknya.

Perlahan kuseka air mataku. Bening itu bak kaca yang memantulkan kembali gambaran titik-titik malam dari canting yang ibu gerakkan. Setelah empat puluh hari usia adikku, ibuku kembali membatik. Kebanyakan perempuan di kampungku berprofesi sebagai pembatik. Lantaran pekerjaan ibu itulah, aku dan Simbah Putri sering turut mengasuh adikku. Aku melakukannya dengan senang hati, terlebih ibu sering membelikanku mainan saat kain batiknya sudah jadi dan disetor ke juragan.

Kata ibu, butuh waktu lama untuk membatik. Satu kain batik dengan motif rumit bisa menghabiskan waktu satu bulan. Oleh karenanya, aku harus membantu ibu dengan mengajak bermain adik agar ibu tetap dapat terus membatik.

“Lihat kain mori ini, Le. Putih,” ibu memperlihatkan lembaran mori yang baru saja ia dapatkan dari Pak Hasan, juragan batik di kampung kami.

“Setelah pola digambar pada kain ini, tugas cantinglah untuk melukisnya dengan malam. Kelihatannya mudah karena tinggal menuruti pola, namun sejatinya ada hal penting yang harus diperhatikan, yaitu ketenangan serta kesetiaan. Jika tidak tenang dan setia pada pola, kain batik yang dihasilkan kurang rapi,” seloroh ibu.

“Selalu bersikap tenang, Le, dan setialah pada jalan kebenaran. Ibu doakan, engkau dapat melukis di lembaran hidupmu dengan baik serta indah,” ibu berkata sambil memegang wajahku. Uraian ibu yang tidak begitu kupahami membuatku terdiam.

Semakin besar, kurasakan pekerjaanku semakin bertambah. Selain menjaga adikku sepulang sekolah, aku juga diminta menggembalakan kambing-kambing simbah. Beberapa kambing telah menjadi milikku. Kata simbah, dulu kambing itu milik bapak. Pekerjaan menggembala kambing kulakukan di sore hari, saat ibu berhenti membatik. Ibu akan sibuk dengan urusan dapur dan mengasuh adikku.

Terkadang, aku merasa lelah juga. Akan tetapi, aku pikir ibuku tidak kalah letihnya. Malam hari, ketika adikku sudah terlelap, ibu akan kembali menggores lengkung dan garis di hamparan mori yang tersampir pada kayu melintang. Cahaya neon memancar membuat terang wajah ibu yang menembangkan “Kinanthi”.

Padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesthi
pesunen sariranira
sudanen dhahar lan guling

“Kinanthi”, tembang yang mengingatkan manusia untuk menjalani hidup dalam kesederhanaan, seperti yang kerap dituturkan ibu.

“Jadi orang bijak, Le. Makan dan tidur seperlunya.”

Sayup-sayup, tembang itu mengantarkanku dalam nyenyak. Sekejap aku terlelap dan kembali terjaga manakala kudengar recik-recik air wudu dari sumur. Sebentar kemudian ibu menunaikan salat di kamar hingga fajar menjelang.

Satu kali aku membuat ibu menangis. Kala itu, aku kelas tiga SMP. Aku minta sepeda motor. Aku bosan dengan ejekan teman-temanku. Kata mereka berteman denganku membuat repot. Ke mana-mana bisanya hanya membonceng, tidak bisa gantian.

“Makanya punya motor. Berteman itu, ya, butuh modal!” kata temanku.

Aku menjadi gusar. Seperti orang yang sasar, aku minta dibelikan motor oleh ibu. Tentu saja ibu tidak mengabulkannya.

“Tunggulah sampai kau mempunyai izin untuk memiliki motor, Le.”

“Tidak, Bu. Teman-temanku sudah banyak yang mempunyai motor. Sebentar lagi aku juga SMA,” kilahku.

Berminggu merengek, ibu tetap pada pendiriannya. Akhirnya aku mengemasi pakaianku. Aku katakan akan berhenti sekolah. Aku mau bekerja. Aku mau membeli motor.

Berderai air dari mata ibu. Tidak ada kata-kata. Namun, justru aku menghentikan langkah. Aku teringat bapak. Bukankah saat bapak meninggal ibu tak lagi dapat berkata-kata? Seketika aku luruh. Ibu hanya diam, membuat kalbuku berkecamuk tidak karuan.

“Maafkan, aku, Bu.” Nyaris tak terdengar. Kuraih tangan ibu. Kucium, lantas kuletakkan di atas kepalaku. Aku tergugu dalam pangkuan ibu. Ibu mengelus rambutku. Pelan. Membuat hatiku kian menganga. Ada luka sedalam belati yang aku tusukkan ke hatinya. Ah, sesak dada ini.

“Tetes malam dari canting itu ibarat dunia yang kau kejar, Le. Terlalu kecil. Tanganmu pasti mampu menggenggamnya.”

Ah, ya, waktu begitu cepat berlalu. Pada gilirannya aku harus meninggalkan kampung, rumah, dan ibu. Lulus SMA aku mendapat beasiswa untuk kuliah di Bandung. Rasanya berat sekali. Banyak pertanyaan berkecamuk. Kalbuku teraduk-aduk. Bagaimana dengan ibu? Adikku?

“Berangkatlah, Le. Kejar masa depanmu.”

Berbekal doa ibu, aku merantau.

***

Kutangkupkan kedua tanganku usai mengucap doa untuk bapak. Di pusara ini kenangan begitu liar berkelebat, enggan terlipat. Toh, sedapat mungkin kuseka gulana. Ingin rasanya berandai-andai bapak masih bersama kami. Akan tetapi, buru-buru aku menepis. Ini adalah takdir, tak pantas demikian aku berpikir.

Angin semilir. Bunga kamboja jatuh menelungkup, memeluk bumi. Ilahi, kelopak yang tanggal adalah kehendak-Mu. Bimbinglah selalu hati ini tunduk pada-Mu. Biarlah aku menjadi canting yang terus menari dengan ketenangan dan kesetiaan, menurut kuasa-Mu. (*)

Catatan:
Cerpen ini merupakan pemenang kedua lomba menulis cerpen tingkat nasional dalam Alqolam-UPI Writing Festival tahun 2016, publikasi pertama kali di Suyanto.id.

Sedikit ulasan tentang film animasi anak dari Rusia, Masha and The Bear

Yun Juni 02, 2020
Sabjan Badio
Lulusan Pendidikan Sastra Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Dipublikasikan pertama kali tahun 2014


ABASRIN.com--Jepang dan Amerika--dan mungkin India--adalah di antara negara yang dipandang menjadi "kiblat" film animasi kita. Film-film yang tayang di televisi dan berbedar dalam bentuk kepingan VCD dan DVD kebanyakan berasal dari negara-negara tersebut. Belakangan, baru didapati film animasi cukup terkenal yang berasal dari negara tetangga, Malaysia. Di Indonesia, rasa-rasanya belum ada film animasi yang setenar film animasi produksi negara-negara tersebut. Bahkan, yang cukup disayangkan, film animasi yang mengangkat cerita rakyat yang begitu populer di Indonesia ternyata juga diproduksi negara lain.

Rusia adalah negara yang tidak kita perhitungkan dalam industri film animasi. Negara besar satu ini memang tidak "senarsis" rivalnya, Amerika. Kehadiran Masha and The Bear membuat publik Indonesia tersadar bahwa Rusia pun patut dipertimbangkan kontribusinya dalam dunia animasi. Ramadan yang suci ditingkahi semangat Masha merupakan sajian istimewa di tahun ini. Rusia yang pada banyak kesempatan disebut-sebut sebagai negara tak bertuhan ternyata mampu menyajikan sosok Masha dan Misha yang dalam banyak adegan justru selaras dengan ajaran agama.

Sumber: mashabear.com
Tokoh utama Masha adalah seorang anak kecil yang lincah, bersemangat, ceria, cerdas, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Dia mewakili karakter manusia dengan ciri khas berambut pirang, berbola mata berwarna hijau, dan sering mengenakan kerudung merah jambu. Masha memiliki saudara kembar bernama Dasha.

Tokoh utama lain adalah Misha, seekor beruang besar mantan pemain sirkus hebat. Sebagai pemain sirkus hebat, dia memiliki banyak penghargaan dan piala. Setelah pensiun dari sirkus, Misha memilih tinggal di hutan dalam rumah yang dibangunnya. Di sekitar rumah, Misha membuka ladang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beruang Misha adalah sosok yang bersih dan rapi. Hal ini sering bertentangan dengan ulah Masha. Masha yang masih anak-anak dan memiliki rasa ingin tahu besar sering membuatnya khawatir dan kerepotan apalagi beberapa kali Masha terbukti memporak-porandakan isi rumahnya.

Sebagai sosok yang bersih, rapi, dan suka pada ketenangan dan kedamaian, kehadiran Masha cukup mengganggu Misha. Menariknya, Misha tidak pernah marah kepada Masha. Dia benar-benar memperlakukan Masha sebagai anak kecil, mungkin lebih sabar dari orang tua pada umumnya. Di sinilah nilai pendidikan itu dibangun. Orang tua diajarkan untuk menyadari perkembangan anaknya dan senantiasa mewadahi perkembangan itu. Hal ini bukan perkara mudah bahkan mungkin hanya beruang Misha yang dapat melakukannya. Lebih dari itu, kita diajarkan tentang konsep ketahanan pangan, untuk memanfaatkan pekarangan dan berusaha memenuhi sendiri secara maksimal kebutuhan sehari-hari. Hal ini jauh lebih sehat dan murah dibandingkan kecenderungan masyarakat modern saat ini yang dalam hal pangan bergantung 100% pada pihak lain.

Berdasarkan catatan Wikipedia (id.wikipedia.org), tokoh lain yang hadir dalam film animasi ini adalah Sinterklas, Dipper, Kelinci, Serigala, Tupai, Landak, Panda, Harimau, Pinguin, Beruang Hitam Himalaya, Lebah, Kupu-kupu, dan Ulat. Tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter khas yang membuat jalinan cerita menjadi hidup dan tidak membosankan.

Masih merujuk informasi Wikipedia, Masha and The Bear terdiri terdiri atas 44 episode yang di Indonesia penayangannya dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama episode 1--26, tahap kedua episode 27--35, dan (rencananya) tahap ketiga adalah episode 36--44. Saat tulisan ini dibuat, episode 36--44 belum ditayangkan.

Saya rasa, ini adalah film yang menyajikan kehidupan anak secara kompleks dan dapat diterima oleh berbagai jenjang usia, mulai anak-anak hingga para orang tua. Catatan khusus yang membuat animasi ini berbeda dengan film animasi pada umumnya--selain karakter Masha dan Misha---adalah cara berpakaian tokoh manusianya yang dalam "kacamata" orang Timur dianggap lebih pantas, khususnya untuk tokoh anak-anak. (*)

Morris si rusa besar

Mei 29, 2020
Kover depan Mooris the Moose karya B. Wiseman.

Judul buku asli: Morris the Moose
Penulis: B. Wiseman (Harper & Row, 1959)
Penerjemah: Sabjan Badio

SUATU hari, Morris melihat seekor sapi.

"Kamu adalah rusa besar yang lucu," katanya.

"Aku sapi, aku bukan rusa besar!" kata si sapi.

"Kamu memiliki empat kaki, ekor, dan sesuatu di kepalamu," kata Morris.

"Kamu adalah seekor rusa besar."

"Tetapi, aku sapi!" kata sapi.

"Berarti aku bisa disebut sapi juga!" kata Morris.

Sapi berkata, "Aku menghasilkan susu untuk manusia."

"Jadi, kamu adalah rusa besar yang memberi susu untuk manusia," kata Morris.

"Tapi, ibuku SAPI!" teriak sapi.

"Kamu adalah rusa besar," kata Morris. "Jadi, ibumu pasti rusa juga!"

"Bagaimana aku menjelaskannya padamu?" sapi berkata.

"Kamu tinggal katakan, kamu adalah rusa besar," kata Morris.

"Tidak!" sapi mulai menangis, "Aku BUKAN seekor rusa besar! Tanyakan ke kijang. Dia akan mengatakan padamu siapa sebenarnya aku."

"Siapa dia?" Morris berkata kepada kijang.

Kijang berkata, "Dia memiliki empat kaki, memiliki ekor, dan memiliki tanduk di kepalanya. Dia adalah kijang, seperti aku."

"Dia adalah RUSA BESAR, seperti AKU!" Morris berteriak.

"Kamu? Kamu bukanlah rusa besar. Kamu kijang juga," kijang tertawa.

"Aku adalah RUSA BESAR!" tangis Morris.

"Kamu adalah sekor KIJANG!" bantah kijang.

"Bagaimana saya menjelaskannya kepadamu?" kata Morris,

"Kamu tinggal katakan, kamu adalah kijang," kata Kijang.

"Ayo kita tanyakan pada yang lain," kata Sapi.

"Baik, Sapi," kata Morris si Rusa Besar.

"Baik, Sapi," kijang menyetujui.

Ketiganya berjalan hingga bertemu seekor kuda.

"Halo, kalian kuda!" kata kuda, "Apa benda lucu di kepala kalian itu?"

"Oh, Kijaannng," sapi menghela napas, "Mari kita tanya yang lain lagi saja. Tetapi, sebelumnya mari kita minum."

Morris, sapi, dan kijang minum air sejuk dari sungai yang mengalir.

Morris melihat dirinya di air kemudian tersenyum.

"Kalian berdua tidak seperti aku," katanya, "Kalian bukan RUSA BESAR!"

"Itu artinya kamu bukan KIJANG," kata kijang, "Kamu sama sekali tidak seperti aku."

"Lihat!?" aku seekor sapi, "Aku bukan seekor rusa besar atau kijang. Aku adalah SAPI! Kamu telah melakukan MISTAKE (KESALAHAN)."

"Bukan itu," kata Morris, "Aku melakukan MOOSEtake!"
Catatan: rusa besar dalam bahasa Inggris Amerika disebut moose dan disebut elk dalam bahasa Inggris Britania.

Tulis teenlit, tak perlu berbahasa alay

Mei 28, 2020
Raw Pixel/CNN Indonesia

Oleh Sabjan Badio
Dipublikasikan pertama tahun 2017 di CNN Indonesia

ABASRIN.com--Menulis novel teenlit (novel remaja) itu tidak harus dengan bahasa alay khas anak remaja sekarang. Novel harus ditulis dalam bahasa Indonesia sesuai ejaan yang berlaku. Jika saat ini yang berlaku EBI, maka itulah yang semestinya digunakan.

Hal tersebut disampaikan Wiwien Wintarto dalam diskusi penulisan novel bersama guru-guru anggota Asosiasi Guru Madrasah Penulis Indonesia (Agumapi), Sabtu (15/10/2017). Pada diskusi online tersebut, Wiwien dipandu Siska Yuniati, Ketua Umum Agumapi.

Kemunculan bahasa-bahasa alay bisa saja terjadi, yaitu pada komunikasi antartokoh, misalnya obrolan, SMS, atau komunikasi lain yang terjalin.

Hanya saja, menurut penulis 22 novel teenlit itu, kehadiran dialog dominan pada novel teenlit. Dengan dominannya dialog, secara otomatis, bisa saja bahasa-bahasa alay itu banyak muncul.

Hal tersulit dalam menulis menurut Wiwien adalah saat memulai. Selain perihal memulai, menentukan tema dan alur juga tidak mudah.

Agar dapat segera memulai, Wiwien menyarankan untuk tidak terbebani oleh ide-ide cemerlang atau luar biasa. Bisa jadi kita melahirkan ide megah nan inspiratif, tetapi jika penulis fokus memikirkan hal itu, tulisannya bisa jadi justru tidak pernah selesai.

Setelah mendapatkan ide, namun masih juga belum bisa memulai, Wiwien menyarankan untuk memulainya dengan hal sepele pada bab awal. Misalnya, tentang adegan seseorang yang bangun, memeriksa ponsel, mandi, menuju meja makan, sarapan bersama sekaligus mengenalkan tokoh-tokoh lain.

Bagian ini hanya mengantarkan saja ke bab-bab lain. Setelah cerita selesai, bab awal ini bisa direvisi atau diganti untuk disesuaikan dengan cerita yang telah dibangun atau untuk disesuaikan bahasanya hingga tampil lebih menarik.

Jadi, menurut Wiwien, bab pertama itu bisa jadi selesai paling akhir. Hal ini berlaku juga dengan judul. Wiwien mengaku, dari novel-novel yang ditulisnya, hanya satu yang judulnya dibuat terlebih dahulu. Rata-rata judul tulisan Wiwien ditentukan paling akhir.

Diskusi yang diikuti anggota Agumapi dari seluruh Indonesia itu berlangsung hangat. Beberapa pertanyaan muncul dari peserta, di antaranya tentang cara menembus penerbit yang diajukan Noor Sofi, guru MTs Negeri 9 Bantul.

Menurut pengalaman Wiwien, menembus penerbit memang bukan persoalan mudah. Kendati demikian, Wiwien menyampaikan dua tips khusus. Pertama, penulis harus menjalin hubungan dengan penerbit. Saat penulis menyelesaikan karyanya, tulisan tersebut dikirim ke relasi yang sudah dikenal.

Hal lain yang dapat dilakukan agar lebih mudah menembus penerbit menurut Wiwien adalah menulis novel-novel yang memang sedang banyak diproduksi oleh penerbit yang akan dibidik. Penerbit membutuhkan naskah yang bisa dijual. Novel standar yang potensi pembaca besar berpeluang lebih banyak diterima dibandingkan novel dengan kualitas tinggi namun target pembacanya sangat kecil. Jadi, untuk persoalan ini, pertanyaannya, apa yang sedang dan/atau laku dijual?

Selain Noor Sofi, beberapa guru lain juga menyampaikan pertanyaan-pertanyaannya. Diskusi berlangsung selama dua jam, dari pukul 17.30 sampai dengan 21.30 WIB. Di penghujung acara, Wiwien menyelipkan kata-kata penyemangat bagi Anggota Agumapi.

Seseorang yang rajin menulis, mentalnya akan sehat. Menulis bagi psikis seseorang ibarat tubuh yang berolahraga fisik. (ded/ded) Sumber: CNN Indonesia

Tips menulis teenlit ala Wiwien Wintarto

Mei 28, 2020
Wiwien Wintarto/Pergumapi

Oleh Siska Yuniati
Ketua Umum Perkumpulan Guru Madrasah Penulis
Dipublikasikan pertama kali tahun 2017 di Agumapi.org

ABASRIN.com---Novel teenlit merupakan genre sastra yang cukup mendapat tempat akhir-akhir ini. Jika kita tengok di rak toko-toko buku besar, teenlit tak pernah absen menghiasinya.

Selain muncul di toko buku, tidak jarang novel bergenre teenlit menjadi dikenal luas hingga diangkat ke layar lebar. Mulai yang “senior”, kita mengenal Ali Topan Anak Jalanan hingga yang lebih baru, yang dikenal mulai 2000-an, ada novel Dealova. Karya ini kemudian diangkat dalam film Dealova dan soundtracknya yang sangat terkenal itu juga berjudul “Dealova”. Novel Dealova lahir dari tangan dingin Dyan Nuranindya yang menggarapnya sejak dia duduk di bangku sekolah menangah pertama.

Selain dua karya itu, kita juga mengenal karya-karya lain yang juga tidak kalah terkenalnya, seperti Eiffel I’m in Love, Fairish, Dua Rembulan, Rahasia Bintang, dan Jingga dan Senja. Siapa pun penulisnya, novel-novel itu bercerita tentang remaja, kehidupan remaja, pola pikir remaja, sudut pandang remaja, dan berbagai sisi lain persoalan remaja.

Pertanyaannya, jika terkait remaja, apakah sebuah teenlit yang kekinian harus identik dengan kealay(i)an anak muda?

Topik “alay” inilah yang direspons pertama kali oleh Wiwien Wintarto dalam diskusi online dua jam dengan guru-guru anggota Asosiasi Guru Madrasah Penulis Indonesia (Agumapi), Sabtu (15/10/2017) malam. Penulis puluhan teenlit dan pemenang lomba menulis skenario itu secara tak terduga mengungkapkan bahwa novel teenlit tidak harus alay.

Penulis asal Semarang yang mengaku sekarang fokus pada tulisan dengan target pembaca dewasa muda itu, mengungkapkan bahwa kealayan novel teenlit lebih kepada konteks tema, bukan terkait struktur dan cara bercerita. Sebagai produk sastra, novel teenlit harus mengacu kepada tata aturan penulisan yang berlaku. Jika saat ini yang berlaku EBI, itulah standar bahasa yang digunakan. Lebih lanjut, Wiwien menjelaskan bahwa kealayan seorang anak remaja bisa dimunculkan pada bagian tertentu, misalnya pada bagian dialog atau komunikasi antar tokoh. Maka, Wiwien menegaskan bahwa hal yang perlu dilatih seorang penulis novel teenlit adalah perihal kelincahan dan ketidakkakuan dalam menulis.

Saat ini rata-rata penerbit mau memproduksi novel teenlit. Jadi, bagi penulis hal ini merupakan keuntungan. Untuk dapat diterbitkan oleh penerbit, Wiwien berpendapat, sebuah naskah tidak harus benar-benar luar biasa, titik fokusnya justru menjual atau tidaknya naskah tersebut. Penerbit akan tertarik menerbitkan sebuah naskah jika dipandang akan laku.

Selain mengupas persoalan bahasa, Wiwien juga menyampaikan tips-tips yang disarikan dari pengalaman menulisnya. Ada delapan tips yang disampaikan Wiwien.

Pertama, bagian tersulit dari penulisan novel adalah memulai. Menemukan ide yang tepat dan kemudian menyusun alur juga sulit. Tapi tetap saja, meski itu sudah ketemu, setengah mati susahnya untuk memulai. Pasti terpikir “kudu nulis apa nih?”. Nah di sini akan terkuak trik-trik simpel untuk membuat kita lebih gampang memulai.

Kedua, saat terpikir menulis novel, jangan terbebani dengan mutu alias kualitas karya apalagi terpikir harus bisa menghasilkan karya megah nan inspiratif seperti Laskar Pelangi atau Hafalan Shalat Delisa. Why? Karena kebanyakan penerbit mencari barang yang bisa dijual, bukan kurator sastra yang mencari karya tercanggih yang sekali baca, langsung membuat pembaca menangis. Novel standar namun punya potensi pasar bagus akan diakomodasi daripada satu karya yang bernilai tinggi namun kemungkinan hanya bisa dinikmati kalangan kecil. Jadi, apa yang sedang gampang laku di dunia pernovelan saat ini?

Ketiga, jawabannya adalah novel romance, dengan pasar pembaca perempuan modern perkotaan usia 20-45 berstrata sosial middle up. Nyaris semua penerbit mayor menerbitkan novel jenis ini, sebagian besar laku. At least nggak rugi. Ceritanya pun rata-rata sama. Umumnya tentang dua sahabat cewek-cowok yang akhirnya jatuh cinta namun ragu memulai. Alur seperti ini sudah ratusan kali dipakai, tapi tetap oke. Tidak bakal dikenai tuduhan plagiat atau pembajakan. Cukup dengan memvariasi detail karakter dan kehidupan, novel-novel sudah dianggap berbeda. Tema “gampang” lain yang juga kerap hadir adalah cinta segitiga, seperti di serial Cinta & Rahasia NET.

Keempat, untuk latihan, apalagi bagi yang akan kali pertama bikin novel, tema- tema mudah seperti itu adalah jalan yang pas guna lebih gampang memulai. Jadi tak perlu pusing mencari ide. Sudah ada, tidak perlu mencari lagi. Tinggal dituliskan. Lalu, langkah berikut adalah menulis outline. Bisa dibuat outline per bab dengan kata-kata singkat, dengan kira-kira 15-20 bab utk panjang satu novel standar.

Kelima, agar makin mudah, tulislah adegan tersepele dan teremeh di bab satu sekadar untuk memaksa otak untuk memulai. Sesudah ini rampung ditulis, bab-bab berikut akan lebih lancar dikerjakan. Adegan tergampang yang bisa dipakai untuk mengisi bab satu novel kita adalah adegan bangun tidur. Misal si tokoh bangun, ngecek HP, lalu mandi dan ke meja makan utk sarapan sebelum berangkat sekolah, kuliah, atau kantor. Di situ ia bertemu seluruh anggota keluarganya, maka sekaligus sambil mengenalkan tokoh utama dan kehidupannya.

Keenam, adegan ini sekadar cara memulai. Bila nanti sesudah cerita tamat, bab satu nggak bagus atau bahkan nggak nyambung, dia bisa diganti adegan lain. Saya masih sering memakai teknik ini untuk memulai. Seringnya adegan bab satu harus diganti pada saat proses editing. Tapi nggak apa-apa. Ia hanya sekadar langkah gampangan untuk memulai, daripada berjam-jam duduk di depan laptop dan bingung mau nulis apa.

Ketujuh, intinya, pada era milenial sekarang ini, semua harus dibikin mudah dari diri sendiri, agar semua mudah pula dijalani. Cara menerbitkan pun bisa dibuat mudah pula. Andai ditolak penerbit mayor, bisa diterbitkan sendiri. Andai tak punya dana untuk self publishing, bisa dipasang di Wattpad atau Kompasiana. Tetap sama-sama terbit dan dibaca banyak orang. Hal terpenting, menambah banyak teman sesama penulis, baik amatir maupun profesiobal.

Kedelapan, adapun standar penulisan naskah (fiksi atau nonfiksi) adalah seperti ini:
o Font Times New Roman 12 pt
o Layar A4
o Spasi 1,5
o Alignment justified
o Tulisan tidak perlu diefek

Ini adalah standar internasional. Dengan kriteria demikian, satu naskah novel minimal terdiri atas 170 halaman. Di bawah 170, namanya novella. Tapi umumnya, 150an halaman adalah jumlah aman bagi kebanyakan penulis. Jika hendak terbit indie, halaman bisa disusutkan ke 120an. Kaitannya dengan ongkos cetak.

Tips yang disampaikan Wiwien tersebut disambut antusias oleh para peserta. Beberapa pertanyaan diajukan. Noor Sofi misalnya, guru MTs Negeri 9 Bantul ini mengajukan pertanyaan tentang tips menembus penerbit dan teknik memunculkan ide-ide sehingga melahirkan banyak tulisan.

Terkait menembus penerbit, Wiwien menyarankan untuk mencari koneksi dengan penerbit. Selain itu, solusi lain adalah menulis novel yang jenisnya paling laris di penerbit bersangkutan. Sementara itu, tentang teknik memunculkan ide-ide, Wiwien menyarankan untuk beralih ke aktivitas lain, menonton dan membaca adalah di antara aktivitas yang paling disarankan oleh Wiwien.

Pertanyaan senada disampaikan Sri Rahmiyati. Pengawas madrasah dari Gunungkidul itu bertanya tentang teknik mengatasi permasalahan writer block. Menurut Wiwien, perihal ini sama dengan teknik memunculkan ide-ide, yakni dengan mengalihkan ke aktivitas lain seperti menonton dan membaca.

Masih terkait ide-ide, Sarifudin bertanya tentang sumber inspirasi, apakah terkait pengalaman atau pengamatan. Sarifudin juga bertanya kapan seharusnya judul sebuah cerita dibuat.

Tentang inspirasi, Wiwien berpendapat kebanyakan penulis memang menuangkan ide-ide yang terinspirasi dari pengalaman hidup penulisnya. Berlandasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, cerita bisa diolah bersama peristiwa-peristiwa fiktif. Sementara itu, tentang saat terbaik menentukan judul adalah setelah cerita selesai. Wiwien mengaku, hanya satu dari puluhan karyanya yang judulnya dibuat terlebih dahulu.

Menjawab pertanyaan Yeti Islamawati tentang narasi dan dioalog, Wiwien menyarankan khusus novel pop sebaiknya didominasi dialog-dialog. Ada obrolan-obrolan panjang untuk menghidupkan cerita.

Perihal menciptakan tulisan yang menarik bagi pembaca untuk menjawab pertanyaan Ogi Lesmana, Wiwien berpendapat bahwa seorang penulis sedikit banyak mengerti ilmu marketing. Seorang penulis harus mengerti pembaca sasarannya, seorang penulis harus membedah dunia mereka. Khusus teenlit, pembacanya adalah remaja dengan rentang usia 14-19 tahun, sementara roman dewasa target usianya 20-40 tahun.

Pertanyaan tidak kalah menarik disampaikan Rr. Siti Murdaning tentang kemiripan-kemiripan yang terjadi pada cerita yang ditulis dengan cerita-cerita sebelumnya. Terkait hal ini, untuk menghindari tuduhan plagiarisme Wiwien menyarankan untuk menghindari kesamaan yang terlalu banyak.

Diskusi yang berlangsung hingga pukul 21.20 WIB itu diikuti oleh anggota Agumapi dari seluruh Indonesia. Pada penghujung diskusi, Wiwien berpesan untuk tidak ragu menulis. Menurut Wiwien, menulis tidak semata pekerjaan, melainkan juga merupakan aktivitas mental. Seseorang rajin menulis mentalnya lebih sehat. Fungsi menulis bagi jiwa menurut Wiwien sama dengan fungsi olahraga bagi fisik seseorang. (*) Sumber: https://pergumapi.or.id

Menjadi sismantik

Mei 28, 2020

Afifah Abasrin
Siswa SDIT Ar Raihan Kelas 4C

Hari Sabtu tanggal 3 September 2016, aku dikirim ke Puskesmas Bantul 1. Aku mewakili sekolahku menjadi Siswa Pemantau Jentik (Sismantik). Bersama sekolah lain, aku belajar tentang bahaya nyamuk Aedes aegypti. Aku juga mendapat tugas untuk mengamati jentik di lingkungan sekolah, misalnya kamar mandi, genangan air, dan lain lain.

Aku senang sekali menjadi Sismantik.

Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di Koran Kedaulatan Rakyat edisi 18 September 2018.