Siska Yuniati/Foto: Ons Untoro/Rumah Budaya Tembi |
Guru MTs Negeri 3 Bantul dan Ketua Umum Perkumpulan Guru Madrasah Penulis (Pergumapi)
ABASRIN.com–Menziarahi kubur bapak, bagaikan menyibak cerita yang telah lama tersembunyi dalam benak. Tiga puluh tahun lampau, saat usiaku genap tujuh tahun, rumahku begitu riuh. Adikku, bayi perempuan, hadir di rumah kami. Parasnya ayu membuat setiap tetangga yang menatap mengeluarkan sanjungan disertai doa kebaikan. Hal itu membuatku kecut, sehingga aku termangu di sudut ruang. Bapak yang mula-mula datang, menggendongku dan mendudukkanku dalam pangkuan.
“Waktu kau lahir, kau juga terlihat lucu. Semua orang ingin menciummu,” bapak berkata sambil mengusap rambutku.
Aku berpura-pura tidak mengindahkan. Tanganku asyik menggerakan perahu kertas dalam genggaman.
“Satu kambing kita akan dipotong untuk akikah adikmu. Dulu, bapak potong dua kambing milik simbah untuk akikahmu. Jadi masih lebih banyak punyamu. Tersenyumlah, biar gantengmu tidak sembunyi,” bisik bapak kembali. Bapak mendekapku erat. Aku pun diam-diam berhenti meratap.
Hari itu sepekan umur adikku. Aroma gulai kambing menyebar tanpa permisi. Berkali-kali kuteguk liurku sendiri. Simbah Putri sudah wanti-wanti, gulai kambing untuk kenduri nanti, jadi cukup sekali aku boleh mencicipi. Dengan begini, betapa aku menjadi risi.
Memang segalanya untuk adik. Bapak juga demikian, rela menambah lampu halaman yang katanya listriknya nyalur milik orang. Sore yang remang, acara meriah pecah oleh tangis, jerit, juga rintih. Bapak tersetrum saat lampu belum sempurna terpasang. Dalam gigil, aku saksikan tubuh bapak terkapar bersamaan dengan listrik yang padam. Sebagian badannya legam seperti usai terbakar.
Orang-orang berhamburan. Teriakan bersahutan. Ibuku seolah beku. Mulutnya terus merapal tanpa suara.
“Allah. Allah. Allah.”
Perahu kertas dalam tanganku terhempas begitu keras. Air bah dari mataku, deras meluncur, membaur bersama debu-debu yang melapisi pipiku.
***
“Bapak,” sebutku lirih.
Kini, di atas kuburnya aku hanya mampu memagut rindu. Rasa sepi kerap menghampiri. Beberapa waktu sejak kusaksikan bapak jatuh dan tak bergerak lagi, aku tahu aku disebut anak yatim. Rasanya hidup tanpa bapak adalah amarah tanpa bersebab. Aku menjadi sebal dengan temanku tatkala mereka berangkat sekolah diantar bapaknya.
Perlahan kuseka air mataku. Bening itu bak kaca yang memantulkan kembali gambaran titik-titik malam dari canting yang ibu gerakkan. Setelah empat puluh hari usia adikku, ibuku kembali membatik. Kebanyakan perempuan di kampungku berprofesi sebagai pembatik. Lantaran pekerjaan ibu itulah, aku dan Simbah Putri sering turut mengasuh adikku. Aku melakukannya dengan senang hati, terlebih ibu sering membelikanku mainan saat kain batiknya sudah jadi dan disetor ke juragan.
Kata ibu, butuh waktu lama untuk membatik. Satu kain batik dengan motif rumit bisa menghabiskan waktu satu bulan. Oleh karenanya, aku harus membantu ibu dengan mengajak bermain adik agar ibu tetap dapat terus membatik.
“Lihat kain mori ini, Le. Putih,” ibu memperlihatkan lembaran mori yang baru saja ia dapatkan dari Pak Hasan, juragan batik di kampung kami.
“Setelah pola digambar pada kain ini, tugas cantinglah untuk melukisnya dengan malam. Kelihatannya mudah karena tinggal menuruti pola, namun sejatinya ada hal penting yang harus diperhatikan, yaitu ketenangan serta kesetiaan. Jika tidak tenang dan setia pada pola, kain batik yang dihasilkan kurang rapi,” seloroh ibu.
“Selalu bersikap tenang, Le, dan setialah pada jalan kebenaran. Ibu doakan, engkau dapat melukis di lembaran hidupmu dengan baik serta indah,” ibu berkata sambil memegang wajahku. Uraian ibu yang tidak begitu kupahami membuatku terdiam.
Semakin besar, kurasakan pekerjaanku semakin bertambah. Selain menjaga adikku sepulang sekolah, aku juga diminta menggembalakan kambing-kambing simbah. Beberapa kambing telah menjadi milikku. Kata simbah, dulu kambing itu milik bapak. Pekerjaan menggembala kambing kulakukan di sore hari, saat ibu berhenti membatik. Ibu akan sibuk dengan urusan dapur dan mengasuh adikku.
Terkadang, aku merasa lelah juga. Akan tetapi, aku pikir ibuku tidak kalah letihnya. Malam hari, ketika adikku sudah terlelap, ibu akan kembali menggores lengkung dan garis di hamparan mori yang tersampir pada kayu melintang. Cahaya neon memancar membuat terang wajah ibu yang menembangkan “Kinanthi”.
Padha gulangen ing kalbu
ing sasmita amrih lantip
aja pijer mangan nendra
kaprawiran den kaesthi
pesunen sariranira
sudanen dhahar lan guling
“Kinanthi”, tembang yang mengingatkan manusia untuk menjalani hidup dalam kesederhanaan, seperti yang kerap dituturkan ibu.
“Jadi orang bijak, Le. Makan dan tidur seperlunya.”
Sayup-sayup, tembang itu mengantarkanku dalam nyenyak. Sekejap aku terlelap dan kembali terjaga manakala kudengar recik-recik air wudu dari sumur. Sebentar kemudian ibu menunaikan salat di kamar hingga fajar menjelang.
Satu kali aku membuat ibu menangis. Kala itu, aku kelas tiga SMP. Aku minta sepeda motor. Aku bosan dengan ejekan teman-temanku. Kata mereka berteman denganku membuat repot. Ke mana-mana bisanya hanya membonceng, tidak bisa gantian.
“Makanya punya motor. Berteman itu, ya, butuh modal!” kata temanku.
Aku menjadi gusar. Seperti orang yang sasar, aku minta dibelikan motor oleh ibu. Tentu saja ibu tidak mengabulkannya.
“Tunggulah sampai kau mempunyai izin untuk memiliki motor, Le.”
“Tidak, Bu. Teman-temanku sudah banyak yang mempunyai motor. Sebentar lagi aku juga SMA,” kilahku.
Berminggu merengek, ibu tetap pada pendiriannya. Akhirnya aku mengemasi pakaianku. Aku katakan akan berhenti sekolah. Aku mau bekerja. Aku mau membeli motor.
Berderai air dari mata ibu. Tidak ada kata-kata. Namun, justru aku menghentikan langkah. Aku teringat bapak. Bukankah saat bapak meninggal ibu tak lagi dapat berkata-kata? Seketika aku luruh. Ibu hanya diam, membuat kalbuku berkecamuk tidak karuan.
“Maafkan, aku, Bu.” Nyaris tak terdengar. Kuraih tangan ibu. Kucium, lantas kuletakkan di atas kepalaku. Aku tergugu dalam pangkuan ibu. Ibu mengelus rambutku. Pelan. Membuat hatiku kian menganga. Ada luka sedalam belati yang aku tusukkan ke hatinya. Ah, sesak dada ini.
“Tetes malam dari canting itu ibarat dunia yang kau kejar, Le. Terlalu kecil. Tanganmu pasti mampu menggenggamnya.”
Ah, ya, waktu begitu cepat berlalu. Pada gilirannya aku harus meninggalkan kampung, rumah, dan ibu. Lulus SMA aku mendapat beasiswa untuk kuliah di Bandung. Rasanya berat sekali. Banyak pertanyaan berkecamuk. Kalbuku teraduk-aduk. Bagaimana dengan ibu? Adikku?
“Berangkatlah, Le. Kejar masa depanmu.”
Berbekal doa ibu, aku merantau.
***
Kutangkupkan kedua tanganku usai mengucap doa untuk bapak. Di pusara ini kenangan begitu liar berkelebat, enggan terlipat. Toh, sedapat mungkin kuseka gulana. Ingin rasanya berandai-andai bapak masih bersama kami. Akan tetapi, buru-buru aku menepis. Ini adalah takdir, tak pantas demikian aku berpikir.
Angin semilir. Bunga kamboja jatuh menelungkup, memeluk bumi. Ilahi, kelopak yang tanggal adalah kehendak-Mu. Bimbinglah selalu hati ini tunduk pada-Mu. Biarlah aku menjadi canting yang terus menari dengan ketenangan dan kesetiaan, menurut kuasa-Mu. (*)
Catatan:
Cerpen ini merupakan pemenang kedua lomba menulis cerpen tingkat nasional dalam Alqolam-UPI Writing Festival tahun 2016, publikasi pertama kali di Suyanto.id.